Pages

Minggu, 08 November 2009

INFRASTRUKTUR LINGKUNGAN DAN BINAAN

INFRASTRUKTUR LINGKUNGAN DAN BINAAN
 
 
Abstrak:
Membicarakan perlunya pembangunan perdesaan memerlukan suatu keberpihakan. Pembangunan perdesaan cenderung bergantung pada pembangunan perkotaan, namun tidak selalu kentara ketergantungan yang sebaliknya. Makalah ini bertujuan mengidentifikasi karakteristik hubungan desa kota yang dapat memfasilitasi pembangunan perdesaan, sehingga perkotaan tidak menjadi titik pusat perhatian dalam penggerakan pembangunan di Indonesia. Penjabaran ini bermula dengan mengenai dukungan dari sisi kebijakan, dan sisi kondisi local mengenai perlunya pembangunan perdesaan, setelah itu dijabarkan mengenai hubungan desa kota yang potensial bagi keperluan pembangunan perdesaan. Secara lebih rinci akan dikemukakan model model hubungan tersebut. Bagian terakhir dinyatakan mengenai implikasi hubungan tersebut terhadap kebijakan yang sudah berjalan selama ini baik di tingkat nasional dan tingkat daerah.
Kata Kunci: Pembangunan Perdesaan, Hubungan Desa – Kota, Kota Kecil dan Menengah

1. Pendahuluan
Meningginya perhatian terhadap perkotaan di Indonesia, tidak lepas dari semakin banyak penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan. Tahun 2000, menurut Sensus Penduduk, persentase penduduk yang tinggal di perkotaan mencapai 46%, diperkirakan tahun 2010 lebih dari setengah penduduk Indonesia akan bermukim di perkotaan. Pulau Jawa diperkirakan akan menjadi “Megalopolis”, dengan koridor mengkota yang menghubungkan Serang sampai Surabaya. Dengan tren ini, ditambah oleh terbatasnya kemampuan menyediakan pelayanan umum di perkotaan saat ini, layak jika ketakutan pada kondisi yang terjadi perkotaan. Lebih lanjut, para ahli lingkungan perkotaan, juga menyatakan bahwa kebutuhan energi per kapita di perkotaan cenderung lebih rendah daripada perdesaan, akibat dari terkonsentrasinya lokasi permukiman penduduk di perkotaan. Lebih mahal yang mendistribusikan energi ke areal yang jarang penduduknya. Kegiatan inovasi teknologi lebih sering terjadi di perkotaan daripada di perdesaan berkenaan dengan aliran informasi dan komunikasi telah menciptakan transaksi ide yang intensif dan tak terputus. Argumen efisiensi ekonomi, dan pembiayaan yang tingkat pengembaliannya tinggi menjadi dasar untuk mengarahkan perlunya perencanaan pembangunan ke perkotaan. Dengan dana publik yang semakin terbatas, pagu penganggaran publik mengarah pada sektor atau kegiatan yang memiliki efek trickled down tertinggi dalam waktu yang singkat.
Jika dasar pertimbangan efisiensi ekonomi dan rate of returns dari aktifitas diamati pada wilayah perdesaan, maka perdesaan semakin tidak diprioritaskan dalam perencanaan pembangunan nasional. Perdesaan, menjadi penting bagi pembangunan nasional, adalah ketika pada masa krisis 1997, sektor ini tidak terlampau terimbas akibat krisis. Jika perkotaan mengamati laju pertumbuhan ekonomi negatif, akibat dari krisis (Firman, 1999), perdesaan mengalami laju yang relatif rendah. Jumlah penduduk yang menjadi miskin akibat krisis ekonomi, 80% terjadi di perkotaan, dan hanya 27% terjadi di perdesaan (Yuliana 2003). Ketahanan sektor ekonomi di perdesaan, berkenaan juga dengan keterkaitan ekonomi perdesaan ke luar negeri yang relatif terbatas dari pada di perkotaan. Lebih lanjut lagi, arus barang dan jasa dari luar negeri terutama untuk keperluan konsumtif ke perdesaan juga relatif terbatas. Sebaliknya arus aliran barang dan jasa dari perdesaan, terutama dari sub sektor perkebunan ke luar negeri, menjadi booming, karena krisis meningkatkan nilai jual barang tersebut (Raharjo and Romdiati, 2000 dalam Yuliana 2003). Sektor ekonomi di perdesaan kemudian dianggap memiliki kekuatan yang dapat menjadi daya tahan nasional dalam menghadapi arus globalisasi dan internasionalisasi.
Keberpihakan kepada pembangunan di perdesaan, harus berasal dari alasan yang menyangkut persoalan sosial ekonomi dan politik yang muncul di perdesaan, terutama akibat dari kebijakan nasional, baik yang bersifat bias perkotaan, ataupun pelayanan umum, akan terasa pertama tama di perdesaan. Sangat mudah untuk mengacuhkan perdesaan dan berbagai aspek yang terdapat didalamnya. Dari lokasinya, perdesaan tidak dekat dengan pusat interaksi sosial, ekonomi dan politik.
Dari sisi kegiatan ekonominya, banyak kegiatan perdesaan masih terlibat dalam sektor pertanian terutama yang tradisional, dengan akses pada informasi dan komunikasi yang minimal. Dari sisi pranata sosial yang terbentuk, seringkali pranata ini diatur sedemikian rupa sehingga berorientasi pada penyeragaman untuk kepentingan nasional, daripada untuk mengangkat sumber daya yang terdapat di perdesaan.
Dari sisi politik, sejak Orde Baru (1968-1998) berkuasa politik floating mass diberlakukan di perdesaan. Perdesaan dibebaskan dari pengaruh dan pemikiran politik dan keberadaan partai politik di perdesaan dilarang. Pemerintahan di perdesaan harus dibuat sehingga dapat tumbuh suatu pembangunan dengan dasar otonomi murni, seperti yang tercantum pada UU No. 5/1979 mengenai Pemerintahan Desa. Di era Reformasi (1998 – sekarang), diperbolehkannya masuknya berbagai partai politik untuk mempengaruhi kegiatan perdesaan. Penduduk desa yang umumnya tidak memiliki banyak kesempatan untuk mendapatkan pendidikan politik. Banyak pihak menganggap masuknya partai politik ke perdesaan sebagai bagian dari pendidikan itu sendiri. Ketidaksiapan perdesaan menghadapi perubahan yang cepat dari luar perdesaan, mengakibatkan perkembangan perdesaan menjadi sumber daya yang penggunaan lebih untuk mereka yang dapat memanfaatkan perubahan, daripada kepada mereka yang tidak dapat memanfaatkan perubahan.
Keseluruhan makalah ini, adalah mengeksplorasi bagaimana keberpihakan pembangunan perdesaan itu dikembangkan, dan pengembangan perkotaan seperti apa yang dapat membantu berkembangnya dan terbangunnya perdesaan. Penjabaran ini bermula dengan mengenai dukungan dari sisi kebijakan, dan sisi kondisi local mengenai perlunya pembangunan perdesaan, setelah itu dijabarkan mengenai hubungan desa kota yang potensial bagi keperluan pembangunan perdesaan. Secara lebih rinci akan dikemukakan model model hubungan tersebut. Bagian terakhir dinyatakan mengenai implikasi hubungan tersebut terhadap kebijakan yang sudah berjalan selama ini baik di tingkat nasional dan tingkat daerah.

2. Kebijakan Nasional untuk Pembangunan Perdesaan
Merespons terhadap tahannya sektor pertanian di perdesaan, perhatian pada pembangunan perdesaan, sudah mulai di akhir tahun 1990an. Melalui proyek seperti Poverty Alleviation for Rural Urban Linkages untuk menggerakkan sektor ekonomi produktif di perdesaan dengan pendekatan endogenous, atau pengembangan kemampuan internal perdesaan. Proyek ini dilanjutkan menjadi pengembangan proyek Kawasan Pengembangan Ekonomi Lokal yang mengidentifikasi sektor ekonomi yang dapat menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi terutama di areal yang terpencil. Keberpihakan pada pembangunan perdesaan pada masa pemerintahan Megawati Sukarnoputri (2002-2004) ditingkatkan menjadi bagian dari program pembangunan nasional. Keberpihakan ini dirumuskan secara sektoral, sebagai pengembangan sektor pertanian, baik pertanian lahan basah dan lahan kering, dan perikanan, yang umumnya berlokasi di perdesaan. Konsep Agropolitan yaitu mengembangkan desa – desa produktif secara ekonomi dengan mengarahkan pada pusat pemasaran tertentu yang paling feasible untuk membantu pengembangan perdesaan tersebut. Tahun 2002, program agropolitan dimulai, dengan Departemen Pertanian menjadi motor penggeraknya dan melibatkan sekitar delapan departemen dengan Pilot project agropolitan ditempatkan di delapan propinsi yang potential(Suwandi, 2005). Pada saat yang sama,
Departemen lainnya yang terlibat dalam program agropolitan adalah departemen Pekerjaan Umum, departemen Perindustrian, departemen Perdagangan, Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Dalam Negeri, dan Bappenas.
Secara rinci propinsi dan kabupaten yang terlibat dalam program Agropolitan adalah kabupaten Agam dengan sentra peternakan (Sumatera Barat), kabupaten Rejang Lebong dengan basis sayuran (Bengkulu), Kabupaten Cianjur dengan basis sayuran (Jawa Barat), kabupaten Kulon Progo dengan basis perkebunan (DI Yogyakarta), kabupaten Bangli dengan basis perkebunan (Bali), kabupaten Barru dengan sentra tanaman peternakan (Sulawesi Selatan), kabupaten Kutai Timur berbasis tanaman pangan (Kalimantan Timur), kabupaten Boalemo berbasis tanaman pangan (Gorontalo).
Telah dibuat Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang sebagian besar lingkup wilayah kerjanya meliputi sebagian areal perikanan, dan kelautan. Areal ini sebagian besar berlokasi di wilayah pesisir, pulau kecil, dan wilayah perbatasan. Sekitar 16 juta penduduk Indonesia bergantung pada sub sektor perikanan. Meskipun dari jumlah penduduk yang terlibat, relatif sedikit dibandingkan jumlah penduduk Indonesia, namun pendirian DKP menyeruak perlunya perhatian pada wilayah laut yang merupakan dua pertiga dari luas wilayah Indonesia. Akibat dari perhatian baru ini, disadari pentingnya keperdulian pada kegiatan di wilayah laut. Namun perhatian ini belum cukup tanggap untuk menyelesaikan beberapa persoalan seperti adanya kasus pencurian ikan di perairan Indonesia oleh kapal asing yang semakin marak. Wilayah perbatasan merupakan isu tersendiri dalam konteks Indonesia setelah pada tahun 2004, klaim Indonesia atas pulau Sipadan dan Ligitan di utara Kalimantan Timur hilang dan diberikan kepada Malaysia, dan mulai ditempatinya pulau – pulau di perbatasan Indonesia. Indonesia berbatasan dengan 10 negara lainnya, dan sebagian besar merupakan wilayah laut sebagai wilayah perbatasan. Sedangkan kondisi militer dan kepolisian Indonesia sendiri belum mampu melindungi wilayah perbatasan tersebut.
Konseptualisasi pembangunan perdesaan ini terutama dengan program agropolitan, yaitu suatu program pengembangan ekonomi sektor pertanian, terutama pemasaran dan aliran informasi, untuk dapat memberdayakan petani sebagai produsen sekaligus pemasar produk yang pada akhirnya nilai tambah yang dihasilkan dimiliki lebih banyak oleh petani. Meski dimulai dengan penggunaan dana APBN, program agropolitan dianggap dan diharapkan menjadi suatu konsep yang dapat menjadi dasar bagi daerah untuk melakukan pembangunan di perdesaan. Pemerintah daerah, semakin terlibat dimulai dengan penyediaan dana pendamping, program agropolitan dan kemudian dengan kegiatan / proyek sektoral yang akan mendukung pengembangan agropolitan. Bagi departemen Pekerjaan Umum, rencana pengembangan agropolitan menjadi dasar pertimbangan bagi pengembangan infrastruktur di perdesaan. Hal yang utama adalah untuk pengembangan sektor ekonomi di perdesaan. Keterlibatan departemen lainnya, belum tampak benar dalam berjalannya program ini.
Akan tetapi program ekonomi perdesaan ini tidak dapat dijadikan dasar pertimbangan ketika persoalan rendahnya sumber daya manusia menjadi alasan utama, tidak berkembangnya perdesaan. Pada pemerintahan Megawati, persoalan sosial ekonomi terutama berkenaan dengan sumber daya manusia belum menjadi prioritas pertama. Skema mengenai peningkatan pelayanan kesehatan, pendidikan, di perdesaan belum memiliki kriteria yang bisa diterima untuk dikembangkan.
Pada pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudoyono (2004-2009), dicanangkannya Triple-Track Strategy, yaitu pembangunan yang berorientasi pada pro growth, pro employment, pro poor, atau pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan menciptakan lapangan kerja dan dalam rangka pengentasan kemiskinan. Secara spesifik hal ini terkait dengan pengembangan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009, dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, dijalankan melalui beberapa hal yang berkaitan dengan pembangunan perdesaan, seperti Penanggulangan kemiskinan, Revitalisasi Pertanian, Pembangunan Perdesaan, dan Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah.
Sedangkan agenda pembangunan pada tingkat propinsi atau kota atau kabupaten, sebagian besar berkenaan dengan:
- peningkatan akses pada pelayanan umum, pendukung kesejahteraan rakyat
- pengurangan kesenjangan antar desa, desa kota dan antar kota
- pengendalian perkembangan kota – kota
- pengembangan wilayah tertinggal
Keberpihakan pemerintah sekarang pada pembangunan perdesaan, ternyata tidak mudah dijalankan. Kesulitan ini bermula dari asumsi dasar bekerjanya kebijakan ekonomi, sosial dan politik bahwa aktifitas tersebut sebagian besar berada di perkotaan, dengan cara kerja formal, terencana, terregulasi, sehingga mengakibatkan kebijakan nasional mengenai pembangunan regional tidak dapat langsung diterapkan di perdesaan. Bahkan sebaliknya, kebijakan yang menyentuh perdesaan harus dikembangkan secara spesifik dan ditujukan untuk penguatan di perdesaan. Untuk itu misalnya, saat ini pemerintah tidak secara langsung membuat kebijakan khusus mengenai perdesaan, melainkan tetap menguatkan sektor ekonomi yang menyentuh kelangsungan hidup di perdesaan, misalnya perikanan dan kelautan, kehutanan, pertambangan dan energi, dan telekomunikasi.
Sistem institusi perdesaan diperkenalkan sebagai sistem yang memiliki otonomi murni, yaitu sistem kerja yagn seluruhnya bergantung pada sumber daya lokal dengan intervensi minimal dari pemerintah di atasnya, terkecuali pada politik floating mass tersebut. Pada akhir masa pemerintahan Megawati, ditandatangani UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah –mengubah karakteristik sistem pemerintahan desa (Pemerintah Republik Indonesia, 2004). Pengubahan ini mengakibatkan malah sistem pemerintahan desa memiliki hubungan langsung dengan birokrasi di atasnya dengan ditempatkannya Pegawai Negeri Sipil sebagai sekretaris Desa. Selain daripada itu Badan Permusyaratan Desa yang semula merupakan wakil masyarakat yang dipilih langsung, menjadi ketua RT dan RW. Dalam struktur pemerintahan desa yang menjadi terikat aturan tertentu, otonomi murni yang semula disemboyankan di perdesaan, menjadi tidak lagi terlepas dari sistem pemerintahan hirarkikal nasional. Dengan semakin banyaknya perhatian pada perdesaan, semakin banyak pula aturan yang mengatur sumber daya desa. Pembangunan perdesaan tidak lagi diharapkan untuk menggunakan sumber daya lokal saja,. Dimulai dengan Surat Edaran Mendagri No 104/640 SJ tanggal 22 Mei 2005 tentang Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten / Kota ke Desa. Pada prinsipnya, teralokasi sekitar 10% dari dana Pemda untuk perdesaan. Desa semakin inovatif dengan beberapa kebebasan yang mulai dirasakannya sejak tahun 1998. salah satunya adalah muncul pula Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang dapat menunjukkan eksistensi pembangunan ekonomi desa sekaligus menjadi sumber kegiatan ekonomi di perdesaan misalnya BUM Desa yang mengelola pompanisasi untuk sumber air bersih di perdesaan (Arifin, 2005). Di sisi lain, BUMDes telah terkena peraturan dari UU No. 1/2003 mengenai Persero, CV dan Firma. Akibatnya BUMDes sukar untuk berkembang dengan peraturan yang bias pada kondisi perkotaan tersebut. Berdirinya Badan Training Perdesaan misalnya menjadi sukar berkembang akibat diberlakukannya UU Perbankan. Banyak lagi sumber daya desa yang telah berhasil dikembangkan oleh institusi desa, kemudian ’diambil’ menjadi sumber pendapatan pada tingkat Pemerintah Daerah.
Dengan institusi yang dibangun melalui sistem pemerintahan yang berpihak pada perdesaan, pembangunan perdesaan mendapat alokasi dana publik, namun sekaligus menjadi terikat pada aturan formalisasi yang dibangun terutama untuk keperluan perkotaan. Hal yang lebih krusial, barangkali tetap sama yaitu bagaimana agar melalui sistem institusi seperti ini, hubungan desa dan kota menjadi tidak eksploitatif, bahkan saling mendukung. Sistem pemasaran dan aliran informasi yang kesemuanya berasal dari perkotaan seringkali menjadi biang keladi dari hubungan eksploitasi antar kota ke desa. Akibatnya banyak sumber daya desa, termasuk manusianya terserap pada kegiatan perkotaan. Institusi pasar yang tumbuh masih mengandalkan pada asimetri informasi dan menciptakan rente sehingga dinikmati beberapa orang saja mengakibatkan hubungan desa ke kota tidak menguntungkan. Contoh: dengan adanya Hero atau supermarket besar, yang langsung berhubungan dengan produsen sayuran, maka mata rantai distribusi dapat diputuskan.

3. Hubungan Desa – Kota yang Potensial untuk Pembangunan Perdesaan
Tidak banyak yang menggunakan perspektif optimistik dalam mengamati peran kota terutama kota kecil untuk mendorong pembangunan perdesaan. Mereka yang pesimis, misalnya mnayatakan bahwa implikasi negatif dari pembangunan perdesaan akan lebih dominan dan mengakibatkan peran kota kecil semakint idak bisa menjadi pendorong pmembanguna perdesaan. Ketidakmampuan kota kecil ini dipengaruhi oleh pergerakan pendudukan massal di perdesaan yang pindah ke kota sehingga perdesaan semakin tidak berdaya untuk menciptakan pelayanan pada kota kecil di sekitarnya (Dias, 1984 in Pradhan 2003: 77). Sebaliknya yang memiliki perspektif optimis, melakukan penelitian kasuistik, menyatakan bahwa peran kota kecil telah menciptakan keterkaitan simbiotik dengan perdesaannya, dan dapat meningkatkan produktifitas perdesaan, dan secara hirarkikal dapat menahan dominasi kota besar, dan berfungsi sebagai pusat proses transformasi di perdesaan (Pradhan 2003: 77).
Di Indonesia sendiri, kurangnya perhatian secara khusus pada perdesaan, seringkali juga merupakan kekurangperhatian pada kota – kota kecil dan menengah di Indonesia. Di Indonesia upaya mengurangi ketimpangan antar wilayah, dan khususnya antara desa dan kota, diharapkan dapat dikonsepkan dalam pembangunan kota – kota secara hirarkis (urban hierarchy). Studi mengenai National Urban Development Strategy (NUDS) I (1985) dan II (2000), di Indonesia membantu membuat strategi pembangunan antar wilayah bagi keseimbangan diseminasi hasil pembangunan. Hirarki kota – kota di Indonesia, tertuang dalam UU No. 47/1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), kota di Indonesia terbagi menjadi Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) (Pemerintah Republik Indonesia, 1997). PKN, PKW dan PKL dapat dianalogikan sebagai kota besar, menengah dan kecil. Keperdulian pada perkotaan seringkali mengarah pada kota – kota besar, terutama dengan persoalan internal kota seperti kemacetan lalu lintas, kemiskinan perkotaan, penyediaan perumahan, sumber air bersih, listrik dan pelayanan umum yang kurang, dan berakibat pada menurunnya kinerja ekonomi negara. PKN merupakan penghubung antara ekonomi nasional dengan internasional. Proses internasionalisasi kegiatan ekonomi lokal berlangsung akibat terjadinya transaksi ide dan informasi pada tingkat internasional pada PKN tersebut. Akibatnya, penyediaan pelayanan umum maupun komersial di PKN seringkali harus menyamai pelayanan pada kota besar lainnya pada skala dunia. Sebaliknya PKW dan PKL lebih memiliki pelayanan yang bersifat antara.
PKW, misalnya merupakan kota – kota yang tumbuh sebagai akibat dari posisinya sebagai wilayah belakangnya kota, misalnya kota kota di sekitar kota besar atau seringkali disebut kota satelit (Markusen at al 2002). PKW atau seringkali disebut intermediate cities, atau secondary cities, seringkali menjadi sumber perdebatan. Pertama, perdebatan ini bermula dari berapa jumlah penduduk areal yang dapat disebut sebagai kota menengah? Sebagian menyatakan 100.000 sudah menjadi dasar bagi terbentuknya kota menengah, yang lainnya menunjuk angka satu juta penduduk masih dapat dikategorikan sebagai kota menengah. Dalam konteks Indonesia misalnya, kota – kota sebesar satu juta dapat dikategorikan sebagai kota menengah jika berlokasi di pulau Jawa, akan tetapi akan menjadi kota besar jika berlokasi di luar Jawa. Juga kota – kota menengah di Jawa dapat berupa kota satellite. Untuk itu, kota satellite memiliki fungsi yang berorientasi pada kontrol urbanisasi, spill over kegiatan yang terdapat di kota besar, dan merupakan lokasi perumahan bagi tenaga kerja kota besar. Markusen et al (2002) menyatakan bahwa kota – kota menengah tersebut merupakan kota – kota satelit yang dapat mengakomodasikan karakteristik penduduk yang inovatif, yang tidak mampu tinggal di kota namun memerlukan kedekatan dengan kota untuk interaksi dan transaksi informasi dan pemasarannya. Beberapa ahli terutama yang percaya pada pentingnya sistem kota – kota menyatakan bahwa kota satelit bukanlah kota menengah karena ketidakmandiriannya dalam menjalankan ekonomi kotanya (Pastor et.al., 2002). Dengan kata lain, kota – kota seperti ini merupakan kota – kota yang merupakan bagian dari kota besar dan membentuk urban regions, atau metropolitan region. Kota – kota menengah yang tumbuh dari kota kecil, dan memiliki pertumbuhan ekonomi endogenous yang meluas. Kota- kota ini umumnya muncul di Jawa sebagai kota – kota yang sejak zaman kolonial ada. Di luar Jawa, eksistensi dan lokasi kota – kota menengah lebih jelas dengan mandirinya kota – kota tersebut dalam kegiatan ekonomi, dan sedikitnya kota – kota besar yang bersifat ekspansif, dan membentuk urban region. Eksistensi dan potensi kota – kota menengah untuk mandiri dan membangun pelayanan umum yang memadai bagi warga lebih prospektif. Misalnya kota Balikpapan merupakan salah satu kota menengah di Kalimantan Timur yang dapat memanfaatkan fungsi dan struktur kotanya untuk efisiensinya. Kota – kota ini juga lebih potensial untuk menjadi fasilitasi bagi pusat pemasaran produk perdesaan, dan menjadi penghubung bagi distribusi keperluan di perdesaan.
PKL merupakan kota pusat pertumbuhan desa, yang melayani perdesaannya. PKL atau small cities atau towns. Berbada dengan PKW, eksistensi PKL sepenuhnya dibangun dari keperluan wilayah perdesaan akan adanya pusat pemasaran produk perdesaan atau pusat interaksi transportasi bagi warga perdesaan ke luar wilayahnya. Sebagian besar lokasi PKL di Indonesia, berada di dekat permukiman desa daripada berdekatan dengan lokasi PKW. Di Jawa, lokasi PKL dapat lebih dekat dengan lokasi PKW berkenaan dengan semakin mengkotanya wilayah di pulau Jawa. Sebaliknya lokasi PKL di luar Jawa dapat berdekatan langsung dengan PKN atau bahkan kota besar di luar negeri.
Kota – kota di luar Jawa yang bersifat ekspansif misalnya adalah Medan dengan menciptakan kerjasama Mebidang, atau Makassar dengan kerjsama Maminasata.
Pengembangan agropolitan misalnya, merupakan upaya mengembangkan kota kota kecil sehingga berfungsi positif bagi wilayah perdesaannya. Hubungan ini dapat ditunjukkan sebagai hubungan perdesaan yang sebaiknya melalui kota kecil terlebih dahulu, dengan demikian pembangunan yang bersifat endogenous dapat terakomodasi dengan baik. Umumnya hubungan ini, berkembang pada perdesaan yang bertumpu pada sektor pertanian skala kecil. Pertanian skala kecil, masih menjajagi konsumen yang berasal daril wilayah sekitarnya dan kemampuan daya belinya. Untuk itu seorang petani umumnya diharapkan menjadi pemasar dan sekaligus pengamat pasar untuk dapat melakukan kegiatan yg paling menguntungkan. Konsep agropolitan misalnya, lebih cocok dalam kondisi penguatan peran petani dalam kegiatan ekonomi. Mode produksi dari hal ini adalah lebih mengarah costume made dan skala kecil. Seperti yang dinyatakan oleh Marsden et al (2001), bahwa mode produksi dari petani atau produsen di perdesaan menentukan ke arah pembangunan perdesaan menjadi terarah dan karakteristik pembangunan yang mendasarinya. Dalam mode produksi yang bersifat menyesuaikan pada konsumen lokal, dan skala kecil, tidak ditentukan oleh aturan – aturan tertentu yang bersifat birokratis, melainkan ditentukan oleh kualitas yang bersifat subyektif agar transaksi berlangsung. Sifat subyektif ini juga dapat berasal dari kebiasaan atau budaya setempat dalam memperlakukan komoditas tertentu.
Sedangkan jika perdesaannya, dikuasai oleh sektor pertambangan, hubungan perdesaan akan langsung berhubungan dengan kota menengah atau kota besar. Produksi gas dan minyak dari areal di sekitar kota Bontang, menggunakan Bontang sebagai hub sebelum menuju negara maju. Atau hubungan antara wilayah Bengkalis sebelum produksinya diekspor langsung ke negara maju. Untuk sektor perikanan, perdesaannya dapat langsung berhubungan dengan kota besar. Hal ini ditunjukkan pada desa pesisir yang berbatasan dengan negara lain, seperti di Kalimantan Barat, Sumatera Utara atau Riau.
Beberapa agropolitan seperti yang terdapat di Kabupaten Tanah Karo, memiliki hubungan kuat dengan kota besar seperti Singapura. Produksi pertanian dari Tanah Karo dipasok untuk Singapura. Pola hubungan desa kota yang terbentuk akan ditentukan oleh seberapa memenuhinya persyaratan barang dan jasa yang akan disalurkan oleh agropolitan tersebut kepada Singapura. Dengan demikian, hubungan desa – kota yang terbentuk dapat merupakan desa – kota besar (PKN).
Hubungan desa – kota yang dimotori oleh sektor pertambangan, perikanan, perkebunan atau kehutanan, merupakanmenciptakan sifat sektor produksi pertanian yang mengarah pada mode produksi agro industri. Mode produksi ini lebih mengarah pada kegiatan produksi maupun komoditas yang dihasilkan akan mengikuti aturan atau konvensi tertentu yang telah disepakati. Konvensi tersebut dapat berupa konvensi mengarah pada misalnya WTO, APEC, AFTA, atau perjanjian yang dilakukan dalam kebijakan Growth Triangle misalnya IMT - GT (Indonesia Malaysia Thailand - Growth Triangle). Dengan masuknya proses produksi perdesaan ke dalam mode produksi agro industri, kegiatan ekonomi perdesaan menjadi terikat pada birokratisasi nasional maupun internasional. Tujuan utamanya adalah menghasilkan produksi pertanian yang kualitasnya dapat dipertanggungjawabkan dan dapat bersifat massal. Mode produksi ini dapat menjadikan perdesaan sebagai lahan produksi, namun prospeknya sebagai lokasi inovasi bisa menjadi terbatas. Hal ini mengingat bahwa terbatasnya sumber daya perdesaan, terutama jika difungsikan sebagai wilayah belakang dari suatu unit produksi.
Harus disadari bahwa hubungan desa – kota, merupakan pemacu dari pembangunan perdesaan (Pradhan 2003: 71). Keberhasilan pembangunan di perdesaan tidak lepas dari hubungannya dengan kota yang menjadi wilayah pemasaran, sumber informasi dan komunikasinya. Hubungan yang berorientasi pada kebutuhan kota saja tanpa pengindahkan pada hubungan bagi kebutuhan desa, akan mengakibatkan implikasi negatif pada pembangunan perdesaan. Hal ini terjadi pada pembangunan perdesaan yang diserahkan pada
mekanisme pasar bebas dimana perdesaan akan menjadi ’pendukung’ dalam pembangunan keseluruhan. Dengan kata lain, keberhasilan pembangunan perdesaan akan merupakan keberhasilan membangun kesetaraan dalam keberbedaan karakteristik antar wilayah, dan menunjukkan keberhasilan menciptakan rasa keadilan sosial antar kelompok masyarakat.

4. Implikasi hubungan Desa – Kota pada Kebijakan Nasional yang Sedang dan Akan Berjalan
Sudah saatnya pemihakan pada perdesaan, tidak lagi dengan secara spesifik mengamati kondisi internal perdesaan. Melainkan perlu adanya pembenahan pada sektor ekonomi, wilayah perkotaan, yang dapat memberi kesempatan positif bagi pembangunan perdesaan. Pembangunan perdesaan adalah wajah mengenai keperdulian dalam menjalankan kebijakan pembangunan di Indonesia. Perdesaan dapat mencari jalan solusi bagi pembangunanya, akan tetapi intervensi yang dilakukan pemerintah akan banyak bergantung pada evaluasi yagn dilakukannya terhadap proses yang berlangsung di perdesaan. Jika suatu kebijakan belum selesai dijalankan di perdesaan sudah berganti, maka pembangunan perdesaan hanya akan menjadi eksperimen bagi proses perencanaan pembangunan kita.
Perlu kiranya evaluasi kebijakan pembangunan perdesaan dilaksanakan, terutama jika menyangkut pembangunan antar sektor ekonomi untuk mendorong terjadi sinergi antar sektor yang memerlukan waktu untuk dikembangkan.
Lebih jauh lagi, peningkatan pelayanan umum seperti pelayanan infrastruktur, pemasaran hasil produksi, pendidikan, kesehatan menjadi utama, terutama dalam mendorong keterlibatan atau interaksi penduduk perdesaan. Bukan saja perlu adanya bangunan fisik sebagai lokasi dari pelayanan itu sendiri yang diperlukan, namun keterlibatan masyarakat non perdesaan dalam proram pelayanan umum diperdesaan akan lebih menentukan arah perdesaan. Hal ini untuk meningkatkan arus informasi melalui komunikasi yang memungkinkan penduduk perdesaan membangun tindak – tindak kolektif agar tercipta kemandirian dalam berkreasi dan berinovasi. Di sisi lain, pemerintah secara berkala perlu melakukan kajian implikasi kebijakan, terutama yang menyentuh perdesaan, agar dapat dipastikan perdesaan tidak diperlakukan secara timpang dalam menjalankan kebijakan tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar

Hai... tmenku yag caem & imoet!!! Qu trima komentarmu dengan lapang dada...!!! Trima kasih atas kritik dan sarannya... Ocey